Dari Irfan Kamil di Jakarta
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengecam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bawah pimpinan Firli Bahuri sebagai lembaga yang “otoriter dan anti-kritis” bagi aksi protes laser Greenpeace.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan hal itu setelah KPK melaporkan Greenpeace Indonesia ke Polres Jakarta Selatan (Polres) pada 28 Juni lalu untuk pengecatan laser gedung merah putih KPK.
“Laporan KPK terhadap organisasi masyarakat sipil dengan Polres Jakarta Selatan menjadi catatan sejarah bahwa KPK di bawah komando Firli Bahuri benar-benar berubah menjadi lembaga otoriter yang anti kritis,” kata Ramadhana kepada Kompas.com.
ICW mengatakan langkah KPK untuk melaporkan Greenpeace ke polisi juga menunjukkan ketidakmampuan KPK untuk menutupi skandal Tes Kewarganegaraan atau Kebangsaan (TWK) pegawai KPK.
Menanggapi laporan KPK ke Polres Jakarta Selatan, Ramadhana mengatakan setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan.
Sistem “Demokrasi”
Pertama, Indonesia menjalankan sistem demokrasi yang termaktub dalam Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi, berserikat, dan berekspresi”.
“Jadi laporan ini bisa dilihat sebagai upaya membendung demokrasi,” kata Ramadhana.
Kedua, Pasal 20 UU KPK menyatakan bahwa lembaga antikorupsi bertanggung jawab kepada publik.
Oleh karena itu, menurut Ramadhana, aksi pengecatan laser harus dilihat sebagai reaksi publik terhadap permasalahan di lingkungan KPK, yang seharusnya ditanggapi dan bukan dilaporkan ke polisi.
Ketiga, orang yang membuat laporan – yang berstatus segera pegawai KPK – telah melanggar kode etik, yakni Pasal 7 Ayat (2) d Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 2/2020.
Sementara itu, dewan pengawas mengatakan: “Dalam menerapkan nilai-nilai dasar profesionalisme, semua anggota komisi dilarang bereaksi negatif dan berlebihan terhadap kritik dan saran”.
“Untuk itu, dewan pengawas harus segera bereaksi terhadap laporan ini,” kata Ramadhana.
laporan polisi KPK
Juru Bicara KPK Ali Fikri sebelumnya mengakui laporan polisi tentang lukisan laser itu disampaikan oleh kantor umum KPK.
“Benar KPK melakukan koordinasi melalui kantor umum dan membuat laporan dengan Polres Jakarta Selatan,” kata Fikri dalam keterangan tertulis.
“Terkait insiden pengecatan laser di gedung KPK pada 28 Juni 2021 sekitar pukul 19.05 oleh pihak luar,” katanya.
KPK menilai lukisan laser berpotensi mengganggu ketertiban operasional dan kenyamanan kantor KPK. Selain itu, gedung merah putih KPK merupakan objek vital.
“Kami yakin mereka sengaja mengganggu operasional dan kenyamanan kantor KPK sebagai aset nasional utama,” kata Fikri.
Fikri mengumumkan bahwa personel keamanan KPK dan Polres Jakarta Selatan yang berjaga saat itu telah melarang pihak luar dan memperingatkan untuk tidak melakukan operasi tersebut.
Namun, pihak yang melakukan lukisan laser melanjutkan aksinya dan bahkan berpindah lokasi.
Tidak ada izin polisi
Selain itu, menurut Fikri, aksi tersebut dilakukan di luar waktu yang dijadwalkan untuk aksi protes dan tidak memiliki izin polisi.
Alhasil, KPK meninggalkan Polres Jakarta Selatan untuk menindaklanjuti laporan tersebut.
“Jadi sekarang kita serahkan ke Polres di Jakarta Selatan untuk mengejar ini,” kata Fikri. “Kami berharap semua pihak di kantor KPK selalu menjamin ketertiban dan kenyamanan.”
Lukisan laser itu terjadi pada Senin malam, 28 Juni, ketika pengunjuk rasa menggunakan laser untuk menulis pesan, salah satunya adalah “berani, jujur, diberhentikan”. Ada juga pesan bertuliskan “Motion of Suspicion” dan “Save the KPK”.
Kedubes tersebut merupakan bagian dari aksi Greenpeace Indonesia dalam menanggapi permasalahan terkait pemberantasan korupsi, mulai dari memecat 51 pegawai KPK karena gagal TWK hingga upaya pelemahan KPK.
Diterjemahkan oleh James Balowski untuk IndoLeft News. Judul asli artikel tersebut adalah “Langkah KPK untuk melaporkan tembakan laser dianggap otoriter dan anti kritis”.