Para pejabat mengatakan ibu kota nasional baru Indonesia, yang akan dibangun di pulau Kalimantan jauh dari Jakarta yang sering banjir dan macet, akan mengarah pada kesetaraan yang lebih besar.
Tetapi penduduk di daerah di mana kota masa depan akan dibangun takut mereka harus melepaskan tanah pertanian tradisional mereka dan kehilangan mata pencaharian.
“Kekhawatiran kami adalah bahwa kami akan kehilangan tanah yang kami tanami secara turun-temurun. Mereka tidak pernah berbicara dengan kami,” kata Sibukdin, seorang kepala suku di Sepaku, sebuah kecamatan di provinsi Kalimantan Timur yang akan menjadi ibu kota baru negara itu.
“Sepertinya kita dibunuh secara perlahan. Hutan nenek moyang kami telah dihancurkan untuk membuka jalan bagi bisnis kayu,” katanya, mengacu pada deforestasi besar-besaran di bawah penguasa lama Suharto.
Sibukdin mengatakan penduduk setempat tidak lagi memiliki sebidang tanah yang mereka garap karena pemerintah telah memberikan izin kepada para taipan bisnis yang memiliki kepentingan politik di pertambangan, kelapa sawit dan kayu.
Parlemen Indonesia baru-baru ini mengesahkan RUU tentang ibu kota negara yang baru, membuka jalan bagi tahap awal pembangunan di atas lahan hutan seluas 6.000 hektar.
Total 256.000 ha telah dialokasikan untuk kota baru, yang disebut Nusantara, nama lama untuk kepulauan Indonesia.
Pada 2019, Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana untuk membangun ibu kota baru di hutan Kalimantan, di tengah-tengah antara kota Balikpapan dan Samarinda.
Dia mengatakan bahwa Jakarta tidak lagi layak sebagai pusat administrasi negara karena seringnya banjir, kemacetan lalu lintas yang berkepanjangan, dan kualitas udara yang buruk.
Biaya pemindahan ke ibu kota diperkirakan lebih dari US$32 miliar (RM133,8 miliar).
Jika semuanya berjalan sesuai rencana, pejabat pertama dijadwalkan untuk pindah ke kantor baru mereka pada awal 2024 – tahun terakhir masa jabatan kedua dan terakhir Joko di kantor.
Bulan ini, seniman terkenal Bali I Nyoman Nuarta mengungkapkan desain istana kepresidenan baru yang akan dibangun di kota baru, dalam sebuah posting Instagram.
Pemerintah mengatakan kota masa depan akan ramah lingkungan dan menampilkan teknologi mutakhir. Hanya mobil listrik yang akan diizinkan di jalan barunya, kata mereka.
“Dengan adanya ibu kota baru, pembangunan akan lebih merata,” kata Rawanda Wandy Tuturoong, pakar Kantor Staf Kepresidenan.
“Selama ini pembangunan terkonsentrasi di pulau Jawa,” tambahnya. “Memindahkan pusat pertumbuhan ekonomi akan mengatasi masalah ini.”
Jawa adalah rumah bagi sekitar 158 juta orang, atau hampir 60% dari penduduk Indonesia, menjadikannya pulau terpadat di dunia.
Jakarta sedang berjuang untuk mengatasi statusnya sebagai pusat administrasi dan komersial.
Tidak ada kota lain di dunia yang tenggelam lebih cepat dari Jakarta. Sudah, 20% wilayahnya berada di bawah permukaan laut dan angka itu akan menjadi hampir dua kali lipat pada tahun 2050, menurut para peneliti di Institut Teknologi Bandung.
Ekstraksi massal air tanah sebagian harus disalahkan.
Sekitar 630 juta meter kubik air dipompa dari tanah setiap tahun oleh bangunan komersial termasuk hotel, pusat perbelanjaan dan kompleks apartemen serta penduduk, menurut pemerintah kota.
Sementara itu, risiko bencana seperti banjir, gempa bumi, tsunami dan letusan gunung berapi minimal di ibukota masa depan, kata pemerintah.
Rawanda mengatakan pemerintah telah berkonsultasi dengan perwakilan masyarakat setempat dan kekhawatiran mereka sedang ditangani. “Kami ingin kota baru ini bermanfaat bagi masyarakat setempat, sehingga mereka bisa menjadi tuan atas rumah mereka sendiri,” katanya.
“Makanya kita akan bangun pusat pendidikan dan kejuruan agar bisa misalnya para eksekutif dan pimpinan perusahaan besar yang akan berinvestasi di sini,” ujarnya.
Namun, para aktivis mengkritik kurangnya konsultasi publik.
“Seharusnya pemerintah melakukan referendum mengenai rencana tersebut,” kata Pradarma Rupang, juru kampanye kelompok lingkungan Jaringan Aksi Pertambangan (Jatam) di Kalimantan Timur.
“Mereka terburu-buru mengerjakan proyek seolah-olah bangsa kita akan hancur jika kita tidak memindahkan ibu kota,” katanya.
Dia memperingatkan bahwa proyek itu akan mengancam lingkungan, tidak hanya di lokasi ibu kota baru, tetapi di tempat lain.
“Mereka akan menggunakan bahan dari Palu di pulau Sulawesi dan, awalnya, listrik akan menggunakan bahan bakar fosil, terutama batu bara,” kata Rupang.
“Ini akan mengarah pada pembukaan tambang besar-besaran,” katanya.
Hendry Satrio, pengamat politik Universitas Paramadina Jakarta, mengatakan ambisi pribadi mendorong Joko untuk pindah ibu kota.
“Jokowi ingin membuat sejarah sebagai presiden yang memindahkan ibu kota,” katanya, menggunakan panggilan populer presiden. “Dia berharap itu akan menjadi warisan abadinya.”
“Banyak kota di Indonesia yang perlu dikembangkan, dan selama krisis ekonomi saat ini karena pandemi Covid-19, membangun kota baru harus menjadi prioritas terakhir kami,” katanya. – dpa