Tangerang (Indonesia): Meninggalkan ibu kota yang bermasalah bukanlah perkembangan baru dalam sejarah Indonesia.
Indonesia akan memindahkan ibu kota Jakarta, seperti yang dilakukan penguasa kolonial Indonesia, Belanda, lebih dari 200 tahun yang lalu.
Ibu kota baru yang akan berada di Kalimantan ini dimaksudkan sangat berbeda dengan Jakarta yang sedang dilanda masalah berat karena banjir, polusi, dan kemacetan lalu lintas yang tiada henti menambah kesengsaraannya.
Masalah serupa melanda Belanda pada akhir 1700-an-awal 1800-an yang mendorong perpindahan dari ibu kota lama ke lokasi Jakarta saat ini.
Pengulangan dari apa yang dilakukan penjajah ini menjadi benang merah menarik dari teori pasca-kolonial.
Teori pascakolonial meninjau kembali, mengingat, dan menginterogasi perkembangan suatu bangsa pascakolonialisme.
Ini berusaha untuk menyelidiki hubungan antara penjajah dan terjajah, serta bagaimana kebijakan dan sikap kolonial mempengaruhi kedua negara.
Salah satu ciri dari kondisi pascakolonial adalah “amnesia politik”, keinginan untuk menghapus ingatan tentang subordinasi kolonial dan sejarahnya yang menyakitkan.
Teori ini mengeksplorasi hubungan simbiosis antara penjajah dan terjajah karena ditempati oleh keadaan kebencian dan keinginan.
Bangsa pascakolonial ingin berbeda dari penjajahnya, tetapi ia membedakan dirinya dalam kerangka kolonialisme.
Nasionalisme muncul sebagai proyek modernisasi diri yang seringkali didasarkan pada bentuk dominasi kolonial yang dikompromikan.
Dalam kasus Jakarta, ketika Perusahaan Hindia Timur Belanda menginvasi kota dan membangun benteng Belanda pada tahun 1619, Batavia (sekarang Jakarta) diubah dari kota stasiun pasokan untuk perdagangan kolonial menjadi pusat kekuasaan Belanda.
‘Pusat Kota Batavia’ (sekarang Kota) dikelilingi oleh tembok benteng dan sungai. Beberapa benteng di sepanjang tembok melindungi kota dari serangan musuh.
Benteng dan sistem jaringan kanal menunjukkan bahwa kota ini dirancang sebagai Amsterdam kecil.
Meski kota itu diharapkan berfungsi seperti kota Belanda, kelembapan terbukti tak tertahankan. Kanal dan sungai menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Malaria dan demam berdarah menyebar dengan mudah.
Sungai yang tercemar berat menjadi tempat berkembang biak kolera, diare, dan penyakit kulit.
Kota itu tidak sehat untuk ditinggali dan rusak. Sebagian besar penduduk mulai meninggalkan kota yang membusuk dan pindah ke selatan.
Setelah Napoleon Bonaparte menaklukkan Belanda pada tahun 1806, saudaranya Louis naik tahta Belanda. Terjadi pergeseran kekuasaan yang jelas dari Belanda ke Prancis.
Louis mengutus Daendels, Gubernur Jenderal Batavia yang baru diangkat, untuk menata ulang kota.
Ide pertamanya adalah memindahkan ibu kota tua yang mengerikan ke daerah yang lebih sehat beberapa kilometer ke selatan, di pinggiran kota bernama Weltevreden.
Di sini, ada dua kawasan yang menjadi pusat kekuasaan baru: Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng) dan Koningsplein (sekarang Lapangan Merdeka).
Daendels menghancurkan tembok kota lama dan mendirikan Weltevreden sebagai pusat kekuasaan baru.
Dia membangun istananya yang megah di sana di depan ruang terbuka yang luas. Sementara kota lama dikenal sebagai Downtown Batavia, pusat baru kekuasaan kolonial Prancis dikenal sebagai ‘Uptown Batavia’. Penggantian nama kota secara resmi menandai peralihan kekuasaan dari kekuasaan kolonial Belanda ke kekuasaan kolonial Prancis.
Weltevreden digambarkan sebagai “Miniatur Napoleon Batavia”. Namun, tidak seperti Pusat Kota Batavia, sistem jaringan Weltevreden lebih ditentukan oleh jalan daripada kanal.
Sisa-sisa kota kolonial Prancis ini masih bisa dilihat hingga saat ini. Ada pola pada lokus kekuasaan dan kolonialisme.
Pertama, daripada memperbaiki bekas kota, pemerintah kolonial lebih memilih lokasi baru dan membangun dari awal.
Kedua, setiap pemerintah kolonial membentuk identitasnya sendiri dengan mendirikan pusat kekuasaan yang berbeda dengan simbolisme sebelumnya. Itu adalah bagian dari proses menempa warisan baru yang berbeda dari penguasa sebelumnya.
Jakarta tetap menjadi pusat kekuasaan di era pascakolonial. Kota diperluas ke selatan, mengikuti poros bekas penjajah.
Bangunan-bangunan seperti Monumen Nasional di bekas situs Koningsplein, Simpang Susun Semanggi, Gedung DPR RI, dan Stadion Gelora Bung Karno, serta pengubahan bekas istana gubernur jenderal dan rumah dinas gubernur jenderal menjadi Istana Merdeka Istana (Istana Merdeka) dan Istana Negara (Istana Negara), mencerminkan dilema pascakolonial: membenci bekas penjajah sekaligus ingin seperti mereka.
Beberapa dekade kemudian, Jakarta telah berkembang menjadi megacity dengan perkiraan populasi 11 juta jiwa. Namun kota ini memiliki masalah berat seperti konsentrasi penduduk, pengambilan air tanah yang berlebihan, penurunan permukaan tanah, dan banjir, yang menjadikannya kota yang paling cepat tenggelam di dunia.
Jakarta juga memiliki reputasi buruk untuk kemacetan lalu lintas, kesenjangan ekonomi, dan bencana alam.
Upaya untuk menyelamatkan kota yang tenggelam adalah dengan membangun tiga lapis tanggul laut untuk melindungi kota dari banjir laut.
Tembok Laut Raksasa Garuda telah banyak dikritik karena akan menutup Teluk Jakarta dan merusak lingkungan serta biaya pembangunannya yang sangat mahal.
Berbeda dengan solusi yang benar-benar mengatasi penyebab banjir, proyek ini hanyalah pendekatan teknologi yang sangat konkret.
Pada 2019, pemerintah memutuskan untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan. Ibukota baru mewakili mimpi dan visi baru: cerdas dan berkelanjutan, tangguh, ramah lingkungan, demokratis, berwawasan ekonomi, dan bebas dari bencana lingkungan, polusi dan lalu lintas.
Meskipun demikian, tema-tema postkolonialisme tersebut telah muncul. Alih-alih menangani masalah Jakarta saat ini, pemerintah pascakolonial memilih mencari lokasi baru dan membangun ibu kota baru dari nol.
Pendefinisian ulang identitas Indonesia ini terlihat jelas di era pascakolonial.
Meminjam gaya internasional di bawah Presiden Sukarno, kembali ke tradisionalisme di bawah Presiden Suharto, dan sekarang kota-kota cerdas dan berkelanjutan di bawah Jokowi semuanya mencerminkan kebencian dan keinginan bangsa pascakolonial terhadap kolonialisme. (360info.org)