Selimut busa tebal seperti salju menutupi permukaan kanal di ibu kota Indonesia, Jakarta. Dalam beberapa tahun terakhir, busa telah berulang kali muncul dari air Banjir Kanal Timur di Marunda, terutama di musim hujan.
Polusi serupa telah melanda perairan India, termasuk, sungai Yamuna suci Delhi, yang tertutup busa beracun yang disebabkan oleh limbah, bahan kimia, dan polutan yang tidak diolah.
Di Jakarta, limbah cair, termasuk deterjen cucian dari rumah tangga dan pabrik-pabrik di sekitarnya, disalahkan.
Penyebab pasti munculnya buih di Marunda belum jelas, kata Muharram Atha Rasyadi, aktivis kota Greenpeace Indonesia, meskipun kontributor paling umum pencemaran sungai di Jakarta adalah rumah tangga dan sampah.
“Saat musim hujan, pencemaran sungai dari sampah seperti sampah plastik biasanya meningkat karena hulu sungai lebih tinggi,” katanya.
“Kami membutuhkan pengolahan air limbah yang lebih banyak dan memadai di kota. Kami juga membutuhkan kebijakan yang lebih kuat dan implementasinya untuk menjatuhkan sanksi bagi yang membuang sampah sembarangan.”
Pemerintah sebelumnya menggunakan jaring untuk menangkap sampah agar tidak tumpah ke laut dan mengerahkan tim untuk mengumpulkan barang-barang dari permukaan. Namun, pencemaran sungai Jakarta diperparah dengan melonjaknya limbah medis seperti masker sekali pakai.
Sebuah studi baru-baru ini menemukan 5% lebih banyak puing ditemukan di dua muara, sungai Cilincing dan Marunda, dibandingkan tahun 2016, sebagian karena lonjakan peralatan medis pelindung seperti masker, sarung tangan, dan pakaian pelindung baru-baru ini.
Jakarta, salah satu kota terpadat di dunia dengan lebih dari 10 juta orang, berjuang dengan polusi udara yang parah, jalanan yang macet, banjir dan penurunan tanah 1-15 cm per tahun. Kota ini baru-baru ini bernama kota paling ramah lingkungan di dunia dari perusahaan riset Verisk Maplecroft karena kualitas udara yang buruk dan risiko gempa bumi.
Presiden Joko Widodo telah mengusulkan pemindahan ibu kota dari pulau utama Indonesia Jawa ke Kalimantan Timur di pulau Kalimantan. Aktivis telah menyuarakan keprihatinan tentang rencana tersebut, memperingatkan bahwa krisis lingkungan yang sama hanya akan muncul kembali kecuali jika pemerintah mengadvokasi perencanaan kota hijau.