Pekerja dan oposisi memprotes pada 15 Juni untuk menekan anggota parlemen untuk mengikuti perintah pengadilan dan mencabut aturan perburuhan.
Pekerja dan oposisi memprotes pada 15 Juni untuk menekan anggota parlemen untuk mengikuti perintah pengadilan dan mencabut aturan perburuhan.
Cerita sejauh ini: Pada Oktober 2020, Indonesia meloloskan ‘RUU Penciptaan Lapangan Kerja’ yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi negara yang dilanda Covid-19 dan meningkatkan ekosistem investasinya. Undang-undang ‘omnibus’ – undang-undang yang mencakup beragam masalah dan tidak terkait – memicu protes besar-besaran dengan ribuan orang turun ke jalan di berbagai bagian negara. Para pengunjuk rasa mengeluh bahwa undang-undang itu pro-bisnis, merusak hak-hak buruh dan berbahaya bagi lingkungan.
Sekitar dua tahun kemudian, parlemen Indonesia akan meninjau kembali undang-undang yang kontroversial itu karena membuka perdebatan baru sesuai dengan perintah pengadilan yang memutuskan bahwa undang-undang tersebut disahkan dengan tidak semestinya. Perkembangan terakhir terjadi di tengah tekanan baru dari serikat pekerja dan kelompok lingkungan untuk membatalkan undang-undang tersebut. Dipimpin oleh Partai Buruh, ribuan orang berunjuk rasa di luar gedung DPR di Jakarta pada 15 Juni, menuduh upaya Pemerintah untuk memperkenalkan kembali UU kontroversial itu.
Memahami Hukum Penciptaan Lapangan Kerja
RUU Penciptaan Lapangan Kerja adalah undang-undang utama Presiden Indonesia Joko Widodo yang mengubah 79 undang-undang dan peraturan yang ada untuk “menciptakan lapangan kerja, menghapus birokrasi dan meningkatkan investasi” di ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Undang-undang tersebut mencakup aturan perpajakan, hak tenaga kerja, izin lingkungan, izin pertambangan & perkebunan dan pembentukan dana kekayaan negara Indonesia.
Undang-undang yang diberlakukan, reformasi tenaga kerja termasuk pemotongan pesangon wajib yang dibayarkan oleh majikan, batas upah minimum baru, penghapusan beberapa cuti wajib yang dibayar dan peningkatan kerja lembur yang diperbolehkan. Namun, itu disambut dengan kritik. Kelompok mahasiswa, serikat pekerja dan aktivis lingkungan mengatakan undang-undang itu disahkan tanpa konsultasi yang tepat. Beberapa menyebutnya pro-bisnis dan yang gagal mengamankan hak-hak pekerja dan lingkungan.
Pekerja mengklaim bahwa undang-undang itu berbahaya tidak hanya untuk perlindungan tenaga kerja, tetapi juga mempengaruhi petani dan masyarakat adat. Para pemerhati lingkungan juga menyuarakan keprihatinan mereka atas klausul yang menyatakan bahwa studi dampak lingkungan hanya diperlukan untuk investasi berisiko tinggi, tidak seperti undang-undang sebelumnya. Memperluas dukungan, Konfederasi Serikat Buruh Internasional (IUTC) menentang undang-undang baru yang dikatakan akan “menurunkan kesejahteraan pekerja secara signifikan”.
ITUC-Asia Pasifik mendesak pemerintah Indonesia untuk segera mencabut RUU Omnibus Law yang diusulkan dan menyerukan konsultasi terbuka dan konstruktif dengan mitra sosial, khususnya serikat pekerja, saat menyusun RUU yang diusulkan, demikian bunyi pernyataan tersebut.
Sementara itu, pemerintah Indonesia berpendapat bahwa undang-undang diperlukan untuk merampingkan peraturan rumit yang menghambat bisnis dan menghambat investasi, serta untuk menghidupkan kembali ekonomi yang terpukul keras oleh COVID. Perlindungan lingkungan tidak hilang, katanya. Namun, para kritikus tetap tidak yakin dan turun ke jalan untuk memprotes undang-undang tersebut.
Anggota serikat pekerja Indonesia memegang plakat selama protes terhadap reformasi perburuhan pemerintah. | Kredit Foto: File Reuters
Menantang hukum
Pada tahun yang sama, serikat pekerja dan kelompok masyarakat sipil mendekati Mahkamah Konstitusi dan mengajukan uji materi atas undang-undang tersebut. Pada tahun 2021, Mahkamah memutuskan bahwa undang-undang itu cacat prosedural dan bahkan inkonstitusional di beberapa bagian, seperti perubahan yang dilakukan setelah RUU itu mendapat persetujuan dari parlemen.
Sementara Pengadilan mengakui alasan di balik beberapa tindakan pemerintah, putusan tersebut mencatat bahwa proses yang tepat harus diikuti. “Bukan berarti mencapai tujuan itu kemudian bisa mengesampingkan cara atau prosedur formal yang berlaku,” katanya. Pengadilan memerintahkan Pemerintah untuk meninjau kembali undang-undang tersebut dan membuat perubahan dalam waktu dua tahun.
Pemerintah menanggapi bahwa mereka menghormati putusan tersebut dan akan segera menindaklanjuti putusan pengadilan dengan mempersiapkan revisi undang-undang tersebut. Khususnya, keputusan pengadilan tidak dapat diganggu gugat dan jika Pemerintah gagal melakukan perubahan dalam jangka waktu yang ditentukan, undang-undang tersebut dapat dianggap inkonstitusional.
Apa yang terjadi sekarang?
Pada tanggal 15 Juni, ribuan pekerja berkumpul untuk melakukan protes besar-besaran di Jakarta dan beberapa lokasi lain di seluruh negeri terhadap keputusan kebijakan yang didorong oleh Pemerintah. Seiring dengan undang-undang ketenagakerjaan, keputusan ini termasuk amandemen undang-undang yang mengatur proses pengesahan tagihan. Revisi tersebut merinci apa yang dimaksud dengan konsultasi publik dan menetapkan dasar hukum baru untuk RUU ‘omnibus’.
Analis melihat revisi ini sebagai langkah untuk memudahkan pemerintah memperkenalkan kembali undang-undang ketenagakerjaan sehingga tidak ada kekurangan prosedural. Putusan yang memerintahkan pemerintah untuk merevisi undang-undang tersebut telah mencatat bahwa proses yang tepat harus diikuti untuk mengesahkan RUU tersebut.
(Dengan masukan dari instansi)