Parlemen Indonesia pada hari Kamis menyetujui pembentukan tiga provinsi baru di wilayah Papua yang bergolak, meskipun ada tentangan dari banyak penduduk asli Papua yang takut akan masuknya orang luar, dan kritik dari kelompok-kelompok hak asasi bahwa langkah itu adalah strategi “memecah belah dan memerintah”.
Aksi tersebut membuka jalan bagi terbentuknya Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Dataran Tinggi Papua, selain Provinsi Papua dan Papua Barat yang sudah ada.
“Pemekaran tersebut bertujuan untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, kesejahteraan dan martabat rakyat,” kata anggota parlemen Ahmad Doli Kurnia Tandjung di parlemen.
Rencana pemekaran Papua banyak ditentang oleh masyarakat adat. Protes yang melibatkan ribuan orang menentang rencana tersebut telah diadakan di kota-kota Papua termasuk Jayapura, Wamena, Yahukimo, Timika, Nabire dan Lanny Jaya.
Ika Mulait, aktivis Petisi Rakyat Papua, kelompok yang mengorganisir aksi unjuk rasa menentang pembentukan provinsi baru, memperingatkan pelanggaran HAM yang semakin parah dengan kehadiran aparat keamanan.
Jakarta memberikan otonomi khusus untuk Papua pada tahun 2001 untuk meredakan keinginan untuk merdeka, tetapi pasukan keamanan Indonesia telah dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia selama operasi anti-pemberontakan di sana.
Undang-undang otonomi khusus untuk Papua, yang disahkan tahun lalu, memungkinkan Jakarta untuk membuat unit administrasi baru di Papua tanpa persetujuan dari pemerintah provinsi dan Majelis Rakyat Papua (MRP).
“Tiga provinsi baru ini tentunya akan semakin banyak personel militer yang masuk ke Papua dan masyarakat Papua sudah trauma dengan kehadiran aparat keamanan,” kata Ika kepada BeritaBenar.
Aktivis dan orang Papua mengatakan RUU itu disusun tanpa berkonsultasi dengan masyarakat adat yang diwakili melalui MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRD).
“Pemerintah benar-benar menguasai seni mencari solusi masalah Papua tanpa mendengarkan orang Papua,” kata Ligia Giay, warga Papua yang kuliah di Australia, kepada BenarNews.
Tantangan hukum
Veronica Koman, seorang aktivis Amnesty International Australia, mengatakan pembentukan provinsi baru adalah taktik “memecah-belah”.
“Pangkalan dan pos keamanan baru akan dibangun di setiap wilayah baru, memperburuk konflik dan pelanggaran hak asasi manusia melalui peningkatan militerisasi,” katanya di Twitter.
“Sebagai orang Indonesia, saya sangat malu bahwa babak baru proyek kolonialisme pemukim Jakarta di Papua Barat telah disahkan secara resmi oleh parlemen Indonesia hari ini,” katanya.
Edho Gobay, Direktur LBH Papua, mengatakan pihaknya akan menggugat RUU tersebut di Mahkamah Konstitusi di Jakarta.
“Kami akan mengajukan gugatan hukum karena orang Papua juga memiliki hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945,” kata Gobay kepada BenarNews.
Sementara itu, Sebby Sambom, juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sayap bersenjata gerakan separatis, mengatakan pembentukan provinsi baru hanya untuk melayani kepentingan elit.
“Kami tidak pernah meminta otonomi khusus atau badan otonom baru. Itu yang diinginkan Indonesia melalui elite Papua,” kata Sambom kepada BeritaBenar.
“Itulah sifat kolonialisme. Indonesia akan memaksakan kehendaknya di Papua menggunakan tangan orang asli Papua,” katanya.
Bentrokan antara pemberontak dan pasukan pemerintah telah meningkat sejak Desember 2018, setelah pemberontak membunuh 20 orang yang bekerja untuk sebuah perusahaan konstruksi milik negara yang membangun jalan di Papua.
Papua telah menjadi rumah bagi pemberontakan separatis sejak tahun 1960-an. Pada tahun 1963, pasukan Indonesia menyerbu Papua – seperti Indonesia, bekas jajahan Belanda – dan mencaplok wilayah yang membentuk bagian barat Pulau New Guinea.
Papua dimasukkan ke Indonesia pada tahun 1969 setelah pemungutan suara yang disponsori oleh PBB, yang menurut penduduk setempat dan aktivis adalah palsu karena hanya melibatkan sekitar 1.000 orang. Namun, PBB menerima hasilnya, pada dasarnya mendukung pemerintahan Jakarta.