JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Jenderal Pengaturan Agraris Kementerian Bidang Pertanian dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional (ATR / BPN) Andi Tenrisau menilai ego sektoral masih menjadi kendala untuk melakukan upaya reformasi. Agraris di Indonesia.
“Koordinasi terlihat sangat sederhana, namun ketika dilaksanakan tentunya membutuhkan strategi yang cerdas agar bisa bekerja sama dengan semua sektor,” kata Andi Tenrisau dalam keterangannya yang dikutip. Kompas.com, Minggu (7 Maret 2021).
Menurut Andi, masalah yang sering terjadi di lapangan adalah koordinasi yang ketat, misalnya antara Kementerian ATR / BPN dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Karena itu, Saling menguntungkan dibutuhkan dalam permukiman yang terkait dengan tanah ini, terutama antara Kementerian dan institusi.
Baca juga: Sebagai contoh reforma agraria, nelayan Seri Dusun menggunakan sertifikat tanah untuk modal usaha
“Sehingga setiap orang merasa berkontribusi karena tujuan reformasi pertanian ini sangat baik yaitu untuk kebaikan masyarakat,” ujarnya.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Pertanian (KPA) Dewi Kartika mengkritisi sejumlah isu politik terkait pertanahan.
Salah satu yang menjadi sorotan utama adalah tugas utama kementerian ATR / BPN, yaitu menuntaskan dualisme kebijakan pertahanan di Indonesia.
Menurut Dewi, kebijakan pertanahan belum sepenuhnya berada di tangan Kementerian ATR / BPN.
Namun ada juga kawasan hutan yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dualisme pengelolaan lahan Kawasan hutan dan non-kehutanan pada akhirnya menyebabkan kebijakan yang tumpang tindih karena ego sektoral antara kedua kementerian tersebut.
“Kementerian ATR / BPN hanya mengelola 31 persen lahan dan perkebunan, sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menguasai 69 persen kawasan hutan di Indonesia,” kata Dewi.
Oleh karena itu, Kementerian ATR / BPN perlu mereformasi kebijakan dan undang-undang terkait pengelolaan pertanahan di Indonesia. Artinya seluruh pengelolaan hanya bisa dilakukan oleh satu kementerian.
“Lahan perkebunan dan kehutanan pada dasarnya sama. Ketika penguasaan lahan ini dikelola oleh kementerian, sangat mudah untuk menertibkan lahan,” ucapnya.
Dewi menjelaskan akibat dualisme pengelolaan lahan, banyak bekas kawasan hutan yang menjadi kawasan pemukiman namun tetap berstatus kawasan hutan.
“Aneh kalau pemukiman berubah menjadi kawasan hutan,” imbuh Dewi.