Gempa bermagnitudo 5,6 yang mengguncang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (21/11/2022), menggarisbawahi pentingnya mitigasi bencana.
Mitigasi mencakup upaya untuk mengurangi risiko bencana, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Gempa yang melanda Kabupaten Cianjur pada Senin lalu menyebabkan kerusakan yang luar biasa.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Kamis (24/11), gempa tersebut telah menelan sedikitnya 272 jiwa dan merusak 22.198 rumah.
Banyaknya korban jiwa serta rusaknya rumah dan infrastruktur akibat gempa tersebut menandakan bahwa mitigasi bencana di daerah tersebut belum maksimal.
Selain itu, kerusakan rumah yang besar menunjukkan bahwa rumah-rumah dibangun tanpa banyak memperhatikan prinsip tahan gempa, seperti yang diatur oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Selain itu, pascagempa, banyak warga seperti warga Desa Gasol, Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat terpaksa mengungsi ke lokasi yang fasilitasnya tidak memadai.
Minimnya lokasi pengungsian yang permanen untuk menampung pengungsi saat terjadi bencana menunjukkan bahwa mitigasi gempa di Kabupaten Cianjur belum terencana dengan baik.
Menurut website Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, ada beberapa tindakan mitigasi bencana yang dapat dilakukan sebelum terjadi gempa, seperti membangun gedung sesuai dengan aturan standar (yaitu membuat gempa- bangunan tahan) dan mengidentifikasi lokasi bangunan tempat tinggal penduduk.
Langkah-langkahnya juga termasuk menata furnitur di tempat-tempat yang proporsional; menyiapkan peralatan seperti senter, P3K, dan makanan instan; pemeriksaan penggunaan listrik dan gas; menyiapkan nomor telepon penting; dan mengidentifikasi jalur evakuasi.
Penyebarluasan informasi mengenai mitigasi bencana juga perlu dilakukan mulai dari tingkat paling bawah yaitu keluarga dan lingkungan sekitar.
Menanggapi gempa Cianjur, pakar gempa dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano mengatakan, perhatian utama ada pada pemerintah pusat, provinsi, dan daerah.
Mereka perlu tetap waspada mengingat potensi gempa di kawasan itu.
Dengan demikian, penataan ruang dan pembangunan di setiap wilayah harus disesuaikan dengan struktur geologi dan memperhatikan jarak dari sumber gempa.
Selain itu, kesadaran untuk bermukim di daerah rawan gempa perlu dibangun di antara warga agar mitigasi dapat dilakukan.
Menurut Meilano, saat gempa terjadi, ada masa emas atau krusial untuk melakukan evakuasi—biasanya rata-rata 30 menit setelah gempa.
Satu-satunya hal yang dapat dilakukan setelah bencana terjadi adalah memberikan respon terbaik.
Indonesia harus belajar dari Jepang dalam memanfaatkan masa keemasan tersebut.
Untuk itu, rumah sakit darurat, tempat pengungsian sementara, air, dan fasilitas sanitasi yang baik harus mulai disiapkan dari sekarang.
Jika tindakan dan langkah-langkah yang harus disiapkan untuk bencana di masa depan diabaikan, tidak menutup kemungkinan orang-orang yang selamat kali ini akan menjadi korban berikutnya jika bencana kembali terjadi.
Selain itu, pemerintah harus memberikan perhatian besar terhadap sesar aktif di Pulau Jawa yang berpotensi menimbulkan bencana.
Hal ini perlu dilakukan mengingat peneliti menemukan banyak sesar aktif yang melintasi wilayah padat penduduk di Pulau Jawa.
Misalnya, sesar Lembang yang terletak sekitar 10 kilometer sebelah utara Bandung, dengan panjang sesar yang terpetakan mencapai 22 kilometer.
Literasi tentang kebencanaan masih menjadi tugas mendesak bagi Indonesia. Selain itu, keamanan masyarakat yang dinilai lemah juga perlu dibangun.
Dengan demikian, gempa Cianjur dapat menjadi momentum untuk mulai menerapkan strategi mitigasi secara holistik.
Setelah gempa
Ada beberapa hal penting yang harus disiapkan oleh pihak terkait seperti pemerintah daerah pascagempa.
Salah satunya adalah pembangunan kembali rumah yang rusak dan menjadikannya tahan bencana, atau pembangunan rumah di daerah yang tidak terlalu terkena dampak guncangan. Untuk itu diperlukan kajian yang lebih mendalam.
Jika rumah dibangun di lokasi yang sama, harus dipastikan bahwa lokasi tersebut tidak berada di daerah yang patahannya dapat memicu gempa lagi.
Penting juga untuk merelokasi penghuni bangunan yang terletak di jalur patahan gempa karena struktur bangunan yang baik pun tidak akan cukup untuk membantu mereka menahan guncangan gempa.
Cetak biru ketahanan bencana
Tahun lalu, Pemprov Jabar menyiapkan cetak biru pembangunan budaya tahan bencana di Jabar.
Budaya ini rencananya akan ditanamkan pada seluruh warga di provinsi tersebut, mulai dari pendidikan sekolah hingga tahap pelatihan.
Menurut Gubernur Jawa Barat, M. Ridwan Kamil, ide tersebut untuk menanamkan budaya sadar bencana di masyarakat, seperti di Jepang.
Di bawah cetak biru tersebut, semua pihak diminta untuk bersiap menghadapi bencana dengan pendekatan multidimensi, termasuk pemberian pendidikan lingkungan di sekolah.
Cetak biru tersebut disampaikan oleh Gubernur Kamil pada Pekan Lingkungan Hidup Indonesia-Jepang pada akhir tahun 2021.
Mewujudkan cetak biru ketahanan bencana sangat penting untuk meminimalisir dampak bencana alam, seperti gempa bumi, yang seringkali tidak dapat diprediksi.
Berita Terkait: Menteri Sumadi memberikan bantuan sosial kepada pengungsi gempa Cianjur
Berita Terkait: Kementerian mengirimkan bantuan senilai Rp2,69 miliar untuk korban gempa Cianjur