Jakarta. Kolaborasi multi-stakeholder sangat penting dalam menggerakkan Indonesia – salah satu produsen perikanan laut terkemuka di dunia – menuju keberlanjutan, menurut Sustainable Seafood Standards Group, Marine Stewardship Council (MSC).
“Tidak mungkin untuk mengadvokasi pengelolaan perikanan berkelanjutan saja, mengingat ukuran perikanan kita, apalagi armada dan spesies penangkapan ikan yang berbeda,” kata Hirmen Syofyanto, Direktur Program MSC Indonesia, dalam wawancara baru-baru ini dengan Jakarta Globe.
“Ini membutuhkan kolaborasi yang terintegrasi antar pemangku kepentingan,” tambahnya.
Tapi apa sebenarnya perikanan berkelanjutan itu? Menurut standar MSC, penangkapan ikan yang berkelanjutan tidak hanya terbatas pada apakah alat tangkap yang digunakan ramah lingkungan. Untuk mendapatkan MSC Blue Tick, perikanan harus mematuhi tiga prinsip dasar.
MSC mengharuskan perikanan untuk menjaga stok ikan pada tingkat yang sehat. Anda juga perlu meminimalkan dampak lingkungan dari penangkapan ikan terhadap ekosistem laut. Last but not least, ini memastikan bahwa pengelolaan perikanan efektif dan sesuai dengan peraturan yang ada.
“Tuna [fishing], misalnya, harus mematuhi tidak hanya peraturan pemerintah, tetapi juga organisasi perikanan daerah [RFMOs]”Ucap Hirmen.
Indonesia memiliki tiga perikanan tuna bersertifikat MSC sejauh ini, dan tonase gabungannya sekitar 14.289 ton, data MSC menunjukkan.
“Harus ada upaya lebih untuk menggerakkan lebih banyak perikanan Indonesia menuju keberlanjutan dan menjadi bersertifikat MSC,” kata Hirmen.
Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menandatangani Nota Kesepahaman tentang Perikanan Berkelanjutan dengan MSC. Pemerintah telah menunjukkan komitmennya untuk memerangi illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing.
MSC juga bekerja sama dengan asosiasi perikanan dan universitas untuk mengadvokasi praktik penangkapan ikan yang berkelanjutan. Dan dengan para pemangku kepentingan di halaman yang sama, MSC berharap dapat membantu lebih banyak perikanan menjadi bersertifikat.
“Pelanggan dapat mendorong penangkapan ikan dengan membeli produk ikan berlabel ramah lingkungan [business] Aktor untuk memenuhi standar berkelanjutan, ”kata Hirmen.
Dalam diskusi tersebut, Hirmen menyebut data yang banyak dan tersebar luas sebagai salah satu hambatan utama dalam perjalanan Indonesia menuju perikanan berkelanjutan.
“Baik data pendaratan ikan, tangkapan per satuan upaya maupun volume tangkapan ikan, semuanya masih tersebar luas. […] Kami juga perlu meningkatkan strategi panen kami untuk setiap spesies dan mengumpulkan data berdasarkan spesies, armada penangkapan ikan, dll., ”katanya kepada Globe.
Menurut Hirmen, sektor perikanan tetap tangguh di tengah pandemi Covid-19, dengan ekspor berkembang positif.
Sektor ini juga memainkan peran penting dalam ekonomi kelas bawah, terutama di pulau-pulau terpencil. Sekitar 90 persen nelayan adalah pengrajin. Banyak orang di seluruh rantai pasokan – dari pengolah ikan hingga pedagang – juga bergantung pada sektor ini untuk mencari nafkah. Padahal, kepiting juga menjadi sumber penghasilan bagi banyak pekerja atau ibu-ibu, kata Hirmen.
“Perikanan dapat tetap tangguh terhadap masalah global selama kita mengelolanya secara berkelanjutan. Memancing dapat bermanfaat bagi kita jika kita melestarikan dan melindungi sumber daya [the ocean] Habitat dan perawatan [sustainable] Praktek penangkapan ikan,” imbuhnya.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah menobatkan Indonesia sebagai salah satu produsen produk tangkapan terkemuka di dunia. Menurut FAO, produksi tangkapan laut Indonesia pada 2018 sebesar 6,71 juta ton.
Ekspor laut dan perikanan meningkat 4,15 persen dari Januari hingga April 2021 dibandingkan tahun sebelumnya. Total nilai ekspor pada kuartal pertama tahun ini mencapai $1,75 miliar, menurut Departemen Kelautan dan Perikanan.