Pepatah “bunuh dua burung dengan satu batu” sangat tepat menggambarkan upaya pemerintah kota Yogyakarta untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya yang tersebar luas di kota ini.
Dengan demikian, predikat Yogyakarta sebagai kota budaya dan pendidikan, selain mendukung kemajuan pendidikan dan pelestarian situs cagar budaya, dapat dipertahankan.
Menurut data Dinas Kebudayaan Yogyakarta, terdapat 693 bangunan cagar budaya di kota ini, yang sebagian besar merupakan rumah tinggal, meskipun ada juga tempat ibadah, asrama, hotel, kantor, stasiun, museum, dan sekolah.
Dari ratusan bangunan cagar budaya, sekitar 20 bangunan difungsikan sebagai sekolah, dan rencananya akan direvitalisasi.
Salah satunya adalah SD Negeri Keputran 1 Yogyakarta yang terletak di sudut selatan Alun-alun Utara (Alun Alun Utara) Yogyakarta di Jalan Musikanan.
Bangunan tersebut telah ditetapkan sebagai monumen cagar budaya oleh menteri kebudayaan dan pariwisata pada 17 Oktober 2011.
Sekolah ini dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono VII pada tahun 1913 dengan nama Holland Indian School (HIS), dan pada tahun 1946 diubah namanya menjadi “Sekolah Rakjat Sempoema Kepoetran 1” atau Sekolah Rakyat Sempoema Kepoetran 1.
Sejak pertengahan Agustus 2022, sekolah yang telah ada selama lebih dari satu abad ini direnovasi karena kerusakan yang diamati dari waktu ke waktu yang dapat membahayakan kehidupan siswa.
Anggaran renovasi itu tidak bersumber dari Dinas Pendidikan atau Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Permukiman, melainkan dari dana khusus yang dikelola Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, dengan total nilai Rp870 juta.
Fokus utama renovasi adalah atap dan strukturnya, karena sudah bocor. Atap sekolah akan dikembalikan seperti semula, yaitu menggunakan genteng tanah liat tanpa penambahan glasir atau cat mengkilat.
“Ubin yang digunakan hanya satu jenis. Langit-langit juga kami perbaiki,” kata Kepala Bidang Cagar Budaya Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta Susilo Munandar menjelaskan, sebelumnya ada empat jenis genteng yang digunakan berbeda.
Dalam merehabilitasi dan merenovasi bangunan cagar budaya, Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta melibatkan beberapa arkeolog untuk memastikan bangunan yang diperbaiki tidak menyimpang dari gaya arsitektur tradisional aslinya.
Masukan dan saran juga diterima dari tim ahli cagar budaya kantor yang beranggotakan lima orang.
Tim berkeinginan untuk mengembalikan bangunan ke versi aslinya dengan menggunakan bahan yang sama atau paling tidak mendekati bahan bangunan yang digunakan saat itu.
Meski sudah berusia 109 tahun, beberapa bagian bangunan SD Negeri Keputran 1 masih asli, seperti rangka kayu dan dinding yang terbuat dari anyaman bambu atau gedek.
Kerangka kayu yang digunakan untuk bangunan kelas tersebut diyakini berusia sekitar 200 tahun, karena Sultan Hamengku Buwono VII memilih kayu yang berusia satu abad saat itu.
Namun, beberapa bagian bangunan tersebut tidak terjaga keasliannya, seperti lantai yang kini menjadi keramik, dan dinding pembatas antar ruang kelas untuk menggantikan ruang kelas. gedek.
Penggantian lantai dari ubin abu-abu menjadi keramik dilakukan oleh pihak sekolah sebelum terbitnya UU No. 10 tahun 2010 tentang cagar budaya.
Selain SD Negeri Keputran 1, Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta mencatat enam sekolah lainnya merupakan bangunan cagar budaya yang juga perlu direnovasi, meski anggarannya masih belum bisa direalisasikan.
Sekolah tersebut adalah SD Kintelan, SD Ungaran, SD Ngupasan, SMP Negeri 1 Yogyakarta, SMP Negeri 6 Yogyakarta, dan SMP Negeri 8 Yogyakarta.
Pencitraan merek sekolah
Sekretaris Daerah Kota Yogyakarta Aman Yuridijaya menilai banyaknya gedung pendidikan atau sekolah di kota yang memanfaatkan bangunan cagar budaya itulah yang membuat kota ini unik.
Rehabilitasi sekolah seharusnya tidak hanya dianggap sebagai upaya mendukung pendidikan tetapi juga pelestarian bangunan cagar budaya, tegasnya.
Selain mengembalikan warisan budaya ke bentuk aslinya, branding untuk tujuan pendidikan harus dilakukan.
Branding dilakukan dengan menghadirkan narasi atau cerita tentang bangunan cagar budaya. Branding dipandang sebagai upaya yang akan menggerakkan masyarakat untuk mengembangkan apresiasi yang lebih besar terhadap pelestarian bangunan cagar budaya.
Jika sebuah bangunan cagar budaya hanya dilihat sebagai bangunan kuno tanpa narasi apapun, tidak akan menarik perhatian publik, dan tidak menutup kemungkinan cerita sejarah akan hilang ditelan zaman.
Sebuah narasi budaya diyakini sebagai kekayaan dan kekuatan di Kota Yogyakarta dan mampu meningkatkan sumber daya daya tarik wisata di Kota Yogyakarta.
Sementara itu, dukungan dana khusus untuk rehabilitasi sekolah yang menggunakan bangunan cagar budaya dilakukan pertama kali di SD Negeri Keputran 1 Yogyakarta dan diharapkan dapat dilanjutkan di sekolah lain yang membutuhkan.
“Sinergi ini merupakan wujud nyata integrasi antara program pengembangan pendidikan dan percepatan pelestarian bangunan cagar budaya,” ujar Yuridijaya.
Menuju pembelajaran yang nyaman
Meski kegiatan sekolah sempat terganggu karena rekonstruksi fisik berada di bawah tanah, namun kegiatan belajar mengajar dapat berjalan lebih baik setelah selesai.
Siswa harus berhati-hati saat masuk dan keluar kelas karena banyaknya rangka besi dan tumpukan material.
Namun, pekerjaan konstruksi fisik telah mengikuti rencana dan ditargetkan selesai pada akhir tahun.
Kepala SD Negeri Keputran 1 Yogyakarta, Agus Sutikno, meyakini kegiatan belajar mengajar di sekolah akan lebih lancar setelah proyek selesai.
“Proses pembelajaran akan lebih baik, dan mudah-mudahan kualitas pendidikan di sekolah dan di Kota Yogyakarta juga meningkat,” kata Sutikno.
Berita Terkait: Tiga menteri mengkampanyekan keselamatan jalan di Yogyakarta
Berita Terkait: Sebanyak 214 kapal tanker akan mengikuti Indonesia International Series di Yogyakarta