Surakarta, Jawa Tengah (ANTARA) – Seorang pemuda terlihat duduk di tempat terpencil di ruang konferensi pers Media Center ASEAN Para Games (APG) ke-11 di Surakarta, Jawa Tengah.
Dia kemudian memalingkan wajahnya, dengan sorotan diarahkan padanya dari dua arah, menghadap kamera sebelum mulai berkomunikasi melalui tindakan. Tidak lama kemudian, tangannya dengan gesit mulai membuat tanda, disertai ekspresi wajah dan ucapan kata-kata yang ingin dia ungkapkan.
Dia adalah Andhika Pratama, penerjemah bahasa isyarat untuk tunarungu di ASEAN Para Games.
Pria berusia 24 tahun itu telah membantu para penyandang tunarungu untuk memahami apa yang dikatakan pembicara saat konferensi pers dengan secara bersamaan menggunakan bahasa isyarat untuk mengkomunikasikan kata-katanya. Penggunaan bahasa isyaratnya dapat dilihat selama siaran televisi atau di saluran media sosial.
Perannya selama permainan sangat penting untuk memastikan inklusivitas bagi komunitas tunarungu, karena dia adalah jembatan antara pembicara, yang ingin pesannya didengar oleh semua warga, dengan komunitas tunarungu yang hanya bisa mengandalkan isyarat visual untuk memahami pesan. .
“Kontribusi saya masih kecil, tapi setidaknya apa yang bisa kita nikmati juga bisa dinikmati oleh komunitas tunarungu untuk menjamin kesetaraan di antara kita semua,” kata Pratama usai menyelesaikan tugasnya di media center.
Berbaur dengan komunitas tunarungu
Pratama, lulusan baru Sastra Indonesia dari Universitas Indonesia, mengabdikan dirinya untuk komunitas tunarungu sejak 2018.
Interaksi yang sering dengan komunitas tunarungu dan tuna rungu membantunya untuk mengetahui dan belajar tentang bahasa isyarat sampai mencapai penguasaan yang cukup untuk menjadi seorang juru bahasa.
Berbekal kemampuan bahasa isyaratnya, ia kemudian memutuskan untuk melamar sebagai juru bahasa isyarat untuk Asian Para Games 2018 di Jakarta. Ia bertugas membantu atlet tunarungu yang tersebar di berbagai tempat dan membutuhkan pendampingan dari relawan yang melek bahasa isyarat.
Meskipun gugup selama hari-hari awalnya, ia berhasil menyelesaikan tugasnya selama pertandingan dengan bantuan dari penerjemah bahasa isyarat senior.
Setelah prestasinya di Asian Para Games, ia kemudian didesak untuk menjadi penerjemah bahasa isyarat untuk berbagai fungsi pemerintahan, seperti untuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan selanjutnya untuk Pekan Paralimpiade Nasional 2021 di Papua dan acara lainnya. .
Bahkan setelah berakhirnya APG 2022, tugas penerjemahan lain di Padang, Sumatera Barat, menantinya.
Karena seringnya berinteraksi dengan teman tunarungu, yang menuntutnya menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan mereka, Pratama terkadang lupa untuk beralih ke bahasa lisan saat berinteraksi dengan mitra pendengaran yang dapat membuat mereka bingung.
“Suatu ketika saya memesan makanan, saya tidak sengaja memberikan pesanan saya dalam bahasa isyarat. Saya baru menyadari kesalahan saya ketika server bingung,” kenangnya sambil terkekeh.
Melalui interaksi yang panjang dengan komunitas tunarungu, semangatnya untuk membantu komunitas memahami pesan dan komunikasi yang beredar di sekitar mereka telah ditumbuhkan.
Masyarakat tunarungu dan orang yang tidak memiliki masalah pendengaran menjalani kehidupan yang sama, hanya sedikit perbedaan dari aspek budaya dan gaya hidup, katanya.
Tantangan dalam menafsirkan pesan
Menjadi juru bahasa isyarat itu menantang dan rumit. Seorang juru bahasa seperti Pratama tidak hanya perlu memahami bahasa isyarat dengan lancar tetapi juga harus memahami kata-kata asing yang terkadang diucapkan oleh pembicara saat menyampaikan pidatonya dalam bahasa Indonesia.
Hanya setelah mendengar input ucapan dan melalui pemrosesan kognitif, penerjemah dapat menerjemahkan kata yang diucapkan ke dalam bahasa isyarat.
Pratama mengatakan bahwa tantangan lain dalam interpretasi bahasa isyarat adalah kebutuhan untuk menggunakan bahasa isyarat secara bersamaan sambil mengikuti kecepatan ujaran yang disampaikan oleh pembicara yang pidatonya ia tafsirkan.
Pesan harus tersampaikan tanpa terputus sementara pembicara tidak memberi ruang untuk bernafas, tambahnya.
Penerjemah mengatakan bahwa tanda-tanda yang dia hasilkan telah dibentuk oleh konsensus di antara anggota komunitas tunarungu. Oleh karena itu, ia tidak dapat membuat isyaratnya sendiri, paling tidak terjadi kebingungan karena bahasa isyarat yang ia gunakan tidak dapat dipahami.
Ia mencontohkan, dalam hal tanda untuk kata tertentu tidak disetujui oleh anggota komunitas tunarungu, seperti bahasa isyarat Indonesia untuk “federasi”, ia diharuskan mengeja kata satu huruf pada satu waktu dengan jelas.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Indonesia ASEAN Para Games Organizing Committee (INASPOC) Rima Ferdianto menegaskan, komitmen penyelenggara untuk mendorong inklusivitas bagi komunitas difabel sejalan dengan semangat olahraga yang tercermin melalui slogan “Striving for Equality”.
Menurut data Survei Sosial dan Ekonomi Nasional tahun 2019, sekitar 9,7 persen dari total penduduk adalah penyandang disabilitas.
Apalagi, sekitar 7,03 persen penduduk penyandang disabilitas di Indonesia mengalami gangguan pendengaran, menurut data Sistem Informasi Manajemen Disabilitas Kementerian Sosial.
Pratama sebagai penerjemah bahasa isyarat untuk permainan tersebut merupakan bagian dari komitmen APG untuk mewujudkan inklusivitas dan keterbukaan informasi bagi semua lapisan masyarakat, termasuk komunitas tunarungu.
Komitmen inklusivitas informasi selama pertandingan juga sejalan dengan hak informasi bagi penyandang disabilitas yang dijamin oleh Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD) dan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas.
Berita Terkait: Pasokan alat bantu dengar gagal memenuhi kebutuhan global: Kementerian Kesehatan
Berita Terkait: Izinkan penyandang disabilitas untuk berkembang secara mandiri: Gerkatin
Berita Terkait: Persiapan pencapaian APG ke-11 untuk Paralimpiade Paris: menteri