Pontianak, Kalimantan Barat (ANTARA) – Museum Provinsi Kalimantan Barat berupaya melestarikan warisan budaya dengan mengedepankan cara-cara baru penggunaan ikat kepala wanita (wastra datelu) dan laki-laki (indulu pintas) suku Dayak Tamambaloh bisa dipakai.
“Selain untuk menjaga nilai-nilai kearifan lokalnya, kegiatan ini juga sebagai bentuk pendidikan berkelanjutan bagi generasi penerus agar tradisi memakai wastra datelu terus dipertahankan,” jelas pemandu pendidikan budaya museum, Dwi Wulandari Prasetyaningrum di Pontianak, Selasa.
Salah satu upaya melestarikan warisan budaya Kalimantan Barat adalah dengan menemukan cara-cara baru untuk memakai wastra datulu, dia menjelaskan.
“Wastra datulu merupakan bentuk ekspresi dan kepercayaan suku Dayak Tamambaloh,” ujarnya.
Ia kemudian menghimbau kepada seluruh masyarakat dan generasi muda untuk tidak melupakan budayanya sebagai bagian dari identitas bangsa di tengah kecanggihan teknologi saat ini.
“Di era kemajuan teknologi sekarang ini, kita kembali ke fungsi dan peran utama museum dengan menginformasikan nilai-nilai produk budaya, dan selalu mengangkat kreativitas lokal Kalbar,” jelasnya.
Prasetyaningrum menambahkan, ikat kepala dari kain tenun yang dikenakan oleh kepala Suku Dayak Tamambaloh ini memiliki banyak makna dan filosofi, dan penggunaannya disesuaikan dengan peristiwa yang terjadi di masyarakat setempat.
Suku Dayak Tamambaloh tinggal di Kecamatan Embaloh Hulu dan Embaloh Hilir Kabupaten Kapuas Hulu.
Sebelumnya, pada 9 Juni 2022, pihak museum menggelar kegiatan regenerasi gerak tari suku Dayak Bidayuh. Prasetyaningrum mengatakan hal ini bertujuan untuk mencegah kepunahan tarian mereka.
“Kegiatan tersebut melahirkan kembali ragam gerak yang terdapat dalam seni tari suku Dayak Bidayuh,” ujarnya.
Di Indonesia, suku Dayak Bidayuh tinggal di Bengkayang, Sanggau, Landak, dan Sambas, tambahnya.
Berita Terkait: Masyarakat Dayak memutuskan untuk membatalkan pesta panen karena pandemi
Berita Terkait: Asian Games – Hasil kerajinan Dayak dipamerkan selama Asian Games 2018