JAKARTA, KOMPAS.com – Kepala Ekonom Institute for Economic and Financial Development (Indef), Didik J Rachbini, menjelaskan perjalanan tersebut Hutang Indonesia dari masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga masa Presiden Joko Widodo.
Menurut Didik, di akhir masa jabatannya pada 2014, SBY menyisakan utang Rp 2.700 triliun. Hutang meningkat drastis selama periode Jokowi.
“Terakhir kali SBY memimpin, dia pindah ke Jokowi. Utangnya sekitar 2.700 triliun rupee. Bu Sri Mulyani melihat datanya sendiri Rp 6.336 triliun kemarin. Jadi (plus) 150 persen hanya dalam 5-6 tahun, Utang. selama beberapa dekadejalan pintas lebih dari dua kali, ”kata Didik dalam diskusi virtual, Rabu (24 Maret 2021).
Baca juga: Utang nasional terus meningkat hingga mencapai Rp6.361 triliun
Didik menambahkan, utang itu tidak ditambah dengan BUMN.
Berdasarkan data yang diterima, posisi utang BUMN di luar tabungan dan deposito berjangka berada pada kisaran Rp2.100 triliun.
“Jadi kalau tambah 6.300 triliun rupee, Presiden Jokowi sekarang akan berhutang 8.000 triliun rupee. Ini pencapaian besar yang perlu diawasi secara ketat,” ujarnya.
Selama masa jabatan presiden, lanjut Didik, utang negara hanya berkisar Rp 500 triliun. Saat ini, utang tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
“Jadi sekarang BUMN itu banyak utang. Kalau BUMN mendapat amanah, telat main saja, kasusnya nanti jadi masalah. Kita siapkan presiden berikutnya punya utang yang menumpuk,” ujarnya.
Baca juga: Sri Mulyani kerap mengeluhkan SMS penawaran utang
Didik juga menilai peran DPR dalam pengendalian utang negara saat ini semakin kecil. Pasalnya, pemerintah tidak mundur dalam menambah defisit utang DPR.
Dulu, butuh perdebatan panjang untuk menaikkan defisit APBN dari 1 persen menjadi 2 persen. Saat ini, menurut Didik, defisit APBN sudah mencapai 45 persen.
“Sekarang sesuka hati, sampai defisitnya 45 persen. Mau berhutang ya?” Kami hanya membayar bunga 330 triliun rupee plus pokoknya supaya bisa bayar utang dalam satu tahun, yakni 700-800 triliun. rupee, “katanya.