Inforial (The Jakarta Post)
Jakarta ●
Senin, 8 Agustus 2022
Desa adat di Bali saat ini dapat dikatakan sedang mengalami berbagai permasalahan dan tantangan dalam hukum adat, baik internal maupun eksternal. Sementara itu, para tokoh dan masyarakat desa adat melakukan tindakan hukum melalui proses peniruan dan mengikuti apa yang dilakukan oleh warga desa tetangga sehingga sering ditemukan tindakan main hakim sendiri yang dilandasi kebersamaan. Ada anggapan bahwa tindakan yang dilakukan bersama melalui forum desa dianggap benar. Aksi bersama ini juga dirasakan sebagai bentuk partisipasi dalam mempertahankan desa yang disebut “wirang”. Fenomena terbaru yang bisa dijadikan contoh kasus antara lain: aksi warga desa Pakudui yang membawa “Pretima” (simbol suci) ke Pengadilan Negeri Gianyar untuk kasus tanah Laba Pura; Tindakan mencopot penjor oleh salah satu warga Desa Adat Taro Kelod yang dikenai sanksi Kasepekang ‘dikucilkan’ dalam sengketa tanah individu dan desa; Tindakan membakar rumah penggarap tanah di wilayah Desa Adat Julah, Buleleng dalam kasus sengketa tanah adat yang dikenal sebagai tanah milik desa adat; Aplikasi dari kasepekang sanksi dalam hal pendaftaran tanah melalui PTSL di Desa Adat Jerokuta, Pejeng Gianyar.
Wirang yang setara dengan sutindih mungkin berarti belapati ‘peduli’, membela habis-habisan sampai rela mati. Implementasi dari wirang dapat berdampak positif, dan juga dapat berdampak negatif. Wirang akan berdampak positif jika dilandasi dengan konsep, proses dan prosedur yang tepat. Sementara itu, akan berdampak negatif jika dilakukan secara tidak benar tanpa konsep yang jelas. Oleh karena itu, wirang membutuhkan aspek lain sebagai pendamping agar berdampak positif, yaitu “layak”. Oleh karena itu, kata wirang tidak lepas dari kata “layak” sebagai satu kesatuan yang utuh. Dengan konsep yang jelas, pengerahan warga desa adat yang pada dasarnya tidak diperlukan dapat dihindarkan untuk urusan hukum negara. sebagai saksi dalam perkara sebagai bentuk kabel seharusnya tidak dilakukan. Jadi, ketika dilakukan dengan tidak benar, konsep wirang didefinisikan dengan pemikiran yang salah arah.
Selama-lamanya Penegakan hukum hanya dilakukan jika ada pelanggaran. penegakan selamanya dilakukan melalui pemberian sanksi (pamidanda) sesuai dengan tingkat pelanggaran/kesalahannya. Tujuan utamanya adalah untuk “mendidik” agar kesadaran akan konsep kepatutan tumbuh kembali. Ini disebut “mengembalikan saldo”, karena melibatkan sekala ‘terkait dengan alam semesta’ dan niskala ‘berkaitan dengan keyakinan’. Artinya, pelanggar bisa membedakan tindakan yang pantas dan tidak pantas. Berdasarkan hal tersebut, model pemberian sanksi harus dilakukan secara bertahap, yaitu dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Yang ringan bisa berupa pengaksama, yaitu berupa permintaan maaf berdasarkan kesadaran melalui pertemuan-pertemuan. Sedangkan sanksi yang paling berat dapat berupa kasepekang atau kanorayang sanksi ‘dikucilkan’.
penegakan selamanya melalui penerapan sanksi lebih berorientasi pada nilai “layak”, artinya bentuk sanksi yang tepat disebut “layak” diterapkan dengan mengacu pada prinsip kerukunan dan kebersamaan. Rukun artinya penerapan sanksi adat tidak boleh menimbulkan masalah baru tetapi dapat menyelesaikan masalah. Selain itu, sanksi yang diterapkan mampu menciptakan budaya hukum bagi masyarakat desa, yaitu berupa anggapan “sudah sewajarnya” yang disebut dengan “opini necessitatis”. Jadi, tidak ada gejolak dari warga desa. Dalam penerapan sanksi adat tidak menimbulkan pelanggaran hak hidup bagi warga desa yang dapat melanggar hak asasi manusia seperti menghentikan sumber air, mencabut penjor sebagai sarana pelaksanaan upacara keagamaan. Konsep bergaul dapat diartikan sebagai penerapan sanksi adat tidak didasarkan pada rasa “benci” dan permusuhan, tetapi atas dasar “kemanusiaan” dengan harapan menjadi warga desa yang baik dan patuh. selamanya sebagai pedoman untuk berperilaku baik.
Pengamatan menunjukkan bahwa penerapan kasepekang Sanksi dilakukan langsung hingga sanksi terberat tanpa melalui proses klasifikasi. Artinya, penerapan sanksi langsung pada sanksi yang paling berat, yaitu kesepekang sanksi. Jadi, orang membenarkan bahwa jenis sanksi ini tidak layak lagi digunakan sebagai jenis sanksi di selamanya karena disinyalir tidak manusiawi dan melanggar hak asasi manusia. Namun yang sebenarnya tidak manusiawi adalah proses, prosedur, kemampuan sumber daya manusia, latar belakang pemberian sanksi didasarkan pada kebencian dan permusuhan. Artinya ada pengabaian terhadap asas kepatutan. Posisi kasus perlu diperhatikan dengan baik untuk memberikan kesetaraan relasi sebagai bentuk relasi antar desa di bawah payung Filosofi Tri Hitakarana. Apabila terjadi perselisihan antara individu dengan desanya dapat dimediasi dengan mengutamakan asas-asas kepatutan, keserasian dan kesamaan serta menyerahkan kepada pilihan hukum yang akan digunakan apakah akan diselesaikan melalui jalur nonlitigasi atau litigasi. . Apapun pilihan yang mereka miliki, mereka harus dihormati dalam menemukan kepatutan berdasarkan hukum adat dan/atau hukum negara. Semua pihak harus bisa menghormati keputusan hukum. Kesan dari kasepekang sanksi selalu berorientasi pada aspek pendidikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di desa, dan sebaliknya tidak menimbulkan pelanggaran hukum negara.
Penerapan sanksi dalam hukum adat dengan melanggar hukum negara menunjukkan bahwa desa adat tidak mampu menjalankan otonominya sebagai persekutuan hukum adat. Implikasi lainnya adalah munculnya masalah-masalah baru yang memerlukan penyelesaian menurut hukum negara. Sehingga masalah akan berlipat ganda dan menimbulkan ketidakstabilan di desa. Kemudian, menciptakan situasi yang tidak kondusif dan tidak relevan dengan tujuan pembentukan . selamanya. Selain itu, penguatan desa adat tidak bisa hanya dilakukan dengan membentuk kelembagaan seperti MDA dan membangun gedung-gedungnya yang dilengkapi dengan fasilitas. Yang lebih penting adalah kerja nyata SDM melalui penyusunan program kerja dengan target yang jelas sesuai standar mutu “penguatan desa adat”, tidak campur tangan dalam kekuasaan dan manipulasi yang tidak relevan dengan istilah dan konsep “penegasan”. “, tetapi lebih berorientasi pada penegasan dan penetapan pola-pola yang sesuai dengan masyarakat hukum adat dalam fungsinya sebagai kontrol sosial. Sifat otonomi dan otomatis desa adat harus dipahami dan dipertahankan dalam pembentukan hukum negara seperti peraturan daerah yang mampu mencerminkan hukum prismatik. Oleh karena itu, fungsi litbang lembaga adat yang telah terbentuk tampak menjadi kebutuhan dan program utama, agar hasil litbang dapat dijadikan dasar dalam pembentukan kebijakan di daerah sehingga di satu sisi relevan dengan kepentingan masyarakat. kebutuhan desa adat, dan di sisi lain mampu memberikan payung dari aspek kepastian hukum. Nampaknya hingga saat ini beberapa kasus sengketa di desa adat semakin liar dan semakin kusut karena sistem hukum yang ada belum mampu diintegrasikan untuk dimaknai dan diterapkan dengan baik dan benar, maka dari itu kajian tentang sistem hukum Friedman nampaknya menjadi relevan.
oleh Prof.Dr. I Made Suwitra, SH.,MH
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar Bali
Email: madesuwitra[email protected]