Jakarta, CNN Indonesia –
Sejumlah kalangan memastikan Indonesia sudah masuk jurang resesi pada bulan September atau pada triwulan III tahun 2020. Terakhir, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Dr. Mahfud, bahkan kemungkinan resesi RI mencapai 99,9 persen.
Yusuf Rendy Manilet, Ekonom Center for Economic Reforms (CORE), mengatakan dampak resesi ekonomi adalah melemahnya daya beli masyarakat. Padahal, keadaan ini terjadi saat pertumbuhan ekonomi turun menjadi minus 5,32 persen pada kuartal kedua tahun 2020.
“Kalau bicara dampak yang paling dirasakan bahkan oleh masyarakat itu adalah penurunan daya beli,” ujarnya. CNNIndonesia.comSenin (31/8).
Penurunan daya beli dapat diketahui dari beberapa indikator, di antaranya Indeks Penjualan Riil (IPR) yang berada dalam tren negatif. IPR bulan Juni minus 17,1 persen, tetapi meningkat dari minus 20,6 persen di bulan Mei.
“Meski dalam pelonggaran PSBB ternyata aktivitas ekonomi yang diharapkan pemerintah belum berjalan dengan baik sehingga banyak masyarakat yang berdaya beli rendah,” ujarnya.
Menurut dia, perlambatan daya beli berdampak pada sektor lain, yakni manufaktur. Karena penurunan permintaan, lanjutnya, beberapa pelaku ekonomi memutuskan untuk memperlambat produksi.
Kondisi ini tercermin dari sejumlah indikator, yakni IHS Markit Purchasing Managers ‘Index (PMI). Indeks PMI dikatakan telah meningkat 7,8 poin dari 39,1 poin pada bulan Juni menjadi 46,9 poin pada bulan Juli.
Namun kenaikan tersebut lebih kecil dibandingkan dengan perubahan posisi bulan Mei, dari 28,6 poin menjadi 39,1 poin pada bulan Juni.
Selain itu, lesunya industri manufaktur terlihat dari penurunan impor bahan baku dan penolong sebesar 2,5 persen pada Juli lalu.
Penurunan impor bahan baku menunjukkan lemahnya permintaan domestik, katanya.
Dampak lain dari resesi ekonomi adalah meningkatnya jumlah penduduk miskin. CORE sendiri memprediksikan angka 30 hingga 37 juta orang miskin untuk tahun ini.
Hingga Maret, jumlah penduduk miskin meningkat 1,63 juta jiwa menjadi 26,42 juta jiwa dibandingkan September 2019.
Namun, menurutnya, masyarakat tidak perlu panik. Pasalnya, jika orang panik lalu membeli barang dalam jumlah besar (panic buying) atau menarik uang dalam jumlah besar, keadaan akan semakin parah.
Menurutnya, masyarakat perlu tetap tenang dan bersiap untuk meredakan langkah resesi ekonomi.
“Misalnya, menabung lebih banyak dan menabung lebih banyak jika memungkinkan, menyediakan dana darurat biasanya sekitar 3 hingga 4 kali pendapatan. Saya pikir ini adalah langkah yang harus dilakukan orang daripada ikut campur. Kepanikan karena itu akan memperburuk resesi ekonomi, ”ujarnya.
Senada, Ekonom Indef Eko Listiyanto mengatakan, dampak nyata resesi ekonomi adalah penurunan daya beli masyarakat.
Sebagai akibat dari penurunan daya beli, pendapatan masyarakat hilang atau terpotong dan masyarakat pada akhirnya tidak dapat mengkonsumsi secara normal sebagaimana mereka tidak mengalami resesi, tambahnya.
Selain itu, penurunan daya beli akan berdampak pada peningkatan pengangguran dan kemiskinan. Padahal, ia menyatakan Indonesia sebenarnya pernah mengalami kedua indikator tersebut pada saat itu.
“Tahap selanjutnya dimana resesi berlangsung lebih lama dan tidak bisa diselesaikan dalam waktu setahun, misalnya pada 2021 masih ada pertumbuhan negatif yang disebut depresi ekonomi,” ujarnya.
Saat setuju dengan Yusuf, dia mengimbau masyarakat tidak perlu khawatir. Karena itu, ia menyatakan pemulihan ekonomi dari resesi ini sangat bergantung pada kebijakan pemerintah.
Pedoman utama penanganan pandemi korona. Karena menurutnya, masyarakat masih akan menahan konsumsi jika pandemi terus berkembang karena melihat ketidakpastian.
“Masyarakat tidak perlu khawatir karena dalam konteks resesi ada kemungkinan masyarakat akan berhati-hati jika terjadi,” ujarnya.
(ulf / satu)